Memaknai Hari Kemerdekaan dalam Bingkai Islam Bagian 1
![]() |
gambar dari wahdah.or.id |
Wahdah.or.id - Bulan Agustus ini bangsa Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaannya. Semarak menyambutnya telah nampak sejak jauh jauh hari. Spanduk, bendera, umbul-umbul, dan baliho-baliho bertuliskan “Dirgahayu Kemerdekaan” menghiasi jalan-jalan raya. Semuanya menyambut dengan semarak hari bersejarah itu.
Namun di balik kesemarakannya, masih terselip berbagai pertanyaan di benak kita; apa makna kemerdekaan bagi kita? benarkah kita sudah merdeka secara hakiki? bagaimana kita mengisi kemerdekaan yang kita rasakan saat ini?
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “merdeka” diartikan dengan bebas dari penghambaan dan penjajahan. Yakni, tidak terikat dan bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Pengertian yang diungkapkan KBBI tersebut merupakan makna umum. Tentu, yang dimaksudkan merdeka di sini adalah bukan sebagai kebebasan melakukan segalanya dengan sekehendak hati.
Ketika kita membuka kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa ini, maka kita akan menemukan jejak Islam di setiap lembarannya. Ya, jejak perjuangan kaum muslimin dan para ulama yang menentang penindasan dan mengagungkan nama Islam. Bahkan perjuangan kemerdekaan tersebut telah ada jauh sebelum terbayangnya sebuah komunitas bernama Indonesia.
Dalam sejarah itu, kita dapat melihat bagaimana semangat jihad melebur ke dalam budaya masyarakat Indonesia, yang memang menjadi mayoritas muslim kala itu. Tampilnya para pejuang Islam di beberapa wilayah seperti ; di Aceh dengan Hikayat Perang Sabil-nya, di Jawa dengan dengan Pangeran Diponegoro yang hendak merdeka dan melawan penjajahan, di Makassar dengan Sultan Alauddin yang berdiri tegak mempertahankan kesultanannya dari rongrongan VOC, dan daerah-daerah lainnya, semuanya menjadi warna perjuangan kemerdekaan bangsa kita.
Bertumpuk-tumpuk badan telah menjadi syahid, insyaaAllah. Bersahut-sahut takbir memanggil, mengantar nyawa mereka bercerai dari badannya, yang dengannya mereka mempertanggung-jawabkan jihadnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan, ketika perjuangan beralih ke zaman setelah itu, Islam tetap menjadi sumbu dari berputarnya usaha-usaha menuju kemerdekaan.
Tak heran, jika para ulama dan tokoh Islam, ketika memiliki kesempatan untuk mewarnai lahirnya Indonesia, mereka memanfaatkannya dengan memperjuangkan Islam sebagai pondasi negara.
Melalui Piagam Jakarta (Jakarta Charter), umat Islam mencoba menyalurkan citanya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka yang bertauhid. Meskipun akhirnya pupus karena suatu sebab yang disesalkan para tokoh Islam waktu itu.
![]() |
foto dari islami.co |
Makna Kemerdekaan
Manusia, berdasarkan tabiat (fitrah)-nya, merupakan makhluk yang merdeka. Dalil yang menunjukan hal ini dapat dilihat dalam beberapa ayat Al-Quran, khususnya saat ruh manusia mengikat perjanjian yang suci dengan Allah swt.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (Q.S. al-A’rāf/ 7: 172).
Manusia sebagai makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala telah dianugerahi keistimewaan tersendiri yang tidak diperoleh oleh makhluk-makhluk lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’ : 70).
Selain ilmu dan akal, di antara bentuk kemuliaan dan kelebihan manusia atas makhluk-makhluk lain, menurut sebagian para mufassirin (ahli tafsir), adalah kecenderungannya untuk terbebas dari penindasan dan penjajahan (Lihat Tafsir Bahrul Muhith 6/59).
Dengan kata lain, kemerdekaan merupakan kunci kemuliaan manusia. Manusia tak akan lebih utama dari makhluk-makhluk lain dan menjadi mulia sebelum ia terbebas dari penjajahan.
![]() |
foto dari assajidin.com |
Lalu pertanyaannya, kemerdekaan seperti apa yang akan menjadikannya mulia?
Dalam sebuah atsar (riwayat) disebutkan, ketika Rib’i bin Amir radhiyallahu anhu, salah seorang utusan pasukan Islam dalam perang Qadishiyah ditanya tentang perihal kedatangannya oleh Rustum, panglima pasukan Persia, ia menjawab,
“Allah mengutus kami (Rasul) untuk memerdekakan manusia dari penghambaan manusia kepada manusia menuju penghambaan manusia kepada Rabb manusia, dari sempitnya kehidupan dunia kepada kelapangannya, dari ketidakadilan agama-agama yang ada kepada keadilan Islam.” (Lihat Al-Jihad Sabiluna hal. 119).
Dari atsar di atas, nampak bahwa Islam, ternyata, memandang kemerdekaan bukan dari satu sisi saja, melainkan dari semua sisi, baik dari segi lahiriyah maupun batiniyah, yakni kemerdekaan atau bebas dari penghambaan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala menuju tauhid untuk ranah batiniyah dan kemerdekaan dari kesempitan dunia dan ketidakadilan menuju kelapangan dan keadilan Islam dalam ranah lahiriyah. Sehingga bisa dikatakan bahwa makna kemerdekaan dalam ajaran Islam adalah kemerdekaan yang sempurna bagi umat manusia.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Syarah Al-Aqidah Al-Washithiyyah berkata, “Ubudiyyah (penghambaan) kepada Allah adalah kemerdekaan yang hakiki, (sehingga) orang yang tidak menyembah kepada Allah semata, maka dia adalah hamba (budak) bagi selain Allah”. Jika ia masih menjadi budak, tentu saja belum pantas disebut merdeka.
Kemerdekaan yang asasi adalah ketika manusia berada dalam fitrahnya, yaitu Islam dan tauhid. Setiap manusia yang terlahir di muka bumi, sejatinya adalah manusia merdeka. Bagaimana bisa? Hal ini karena sejatinya tak seorang pun yang terlahir ke dunia ini kecuali telah bersaksi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Rabbnya dan Islam adalah agamanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi” (QS. Al-A’raf : 172).
Ketika manusia tidak berada di atas fitrah tersebut, sekali lagi, sesungguhnya ia adalah manusia yang belum merdeka dan masih terjajah. Kemerdekaan manusia yang asasi ini kemudian bisa terampas dari lingkungan dimana manusia itu tumbuh. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, selanjutnya orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nashrani, atau majusi” (HR. Muslim).
Jadi, manusia tidak bisa dan tidak boleh menjadi budak bagi manusia yang lain. Perbudakan manusia atas manusia sama artinya dengan melanggar hak Tuhan. Manusia yang memperbudak manusia lain sama dengan memosisikan dirinya sebagai Tuhan Yang Maha Esa.
Nabi Muhammad dan para Nabi yang lain adalah para utusan Tuhan. Mereka ditugaskan membawa misi Tauhid ini, yang tidak lain hanya bermakna memerdekakan dan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan manusia atas manusia yang lain.
![]() |
Ilustrasi Kemerdekaan dari mediaumat.news |
Al-Qur’an menegaskan: “(Inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang-benderang dengan izin Tuhan mereka”. (Q.S. Ibrahim, [14:1].
Mengeluarkan adalah membebaskan. Kegelapan di sini bermakna, kekafiran, kezaliman, kesesatan dan kebodohan. Cahaya adalah keimanan kepada Tuhan, keadilan, jalan lurus dan Ilmu pengetahuan.
Ini semua merupakan ajaran paling inti dari Islam dan setiap agama yang dibawa para nabi, utusan Tuhan dan para pembawa misi kemanusian yang lain. Karena ia merupakan refleksi dan aksi dari pernyataan Ke-Maha-Esa-an Tuhan.
Kemerdekaan manusia dalam Islam telah diperoleh sejak ia dilahirkan ibunya dan oleh karena itu tidak seorangpun dibenarkan memperbudaknya atas dasar kekuasaan apapun.
Keyakinan Islam ini dipraktikkan Nabi melalui perintah-perintahnya kepada manusia untuk membebaskan sistem perbudakan melalui segala cara yang mungkin. Diinspirasi oleh tindakan Nabi ini, Umar bin Khattab, khalifah kaum muslim ke dua, kemudian mengembangkannya melalui tindakan pembebasan penzaliman manusia atas manusia yang lain.
Jadi, setiap muslim hendaknya memaknai kemerdekaan itu sebagai pembebasan dari segala bentuk kesyirikan yang dapat menyimpangkannya dari jalan fitrahnya. Begitu pula, kemerdekaan oleh seorang muslim adalah terbebasnya seorang hamba dari segala sistem kehidupan yang tidak bersumber dari aturan Islam dan sunnah NabiNya sebagai wahyu Ilahi. Olehnya, ketika seorang hamba senantiasa komitmen akan hal ini, maka sejatinya ia adalah manusia merdeka di sepanjang hidupnya. Wallahu a’lam.
Bersambung ke bagian 2
Sumber :
1. wahdah.or.id
2. assajidin.com
Post a Comment for "Memaknai Hari Kemerdekaan dalam Bingkai Islam Bagian 1"