Memaknai Hari Kemerdekaan dalam Bingkai Islam Bagian 2
gambar dari wahdah.or.id |
Bulan Agustus ini bangsa Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaannya. Semarak menyambutnya telah nampak sejak jauh jauh hari. Spanduk, bendera, umbul-umbul, dan baliho-baliho bertuliskan “Dirgahayu Kemerdekaan” menghiasi jalan-jalan raya. Semuanya menyambut dengan semarak hari bersejarah itu.
Namun di balik kesemarakannya, masih terselip berbagai pertanyaan di benak kita; apa makna kemerdekaan bagi kita? benarkah kita sudah merdeka secara hakiki? bagaimana kita mengisi kemerdekaan yang kita rasakan saat ini?
Tulisan Berikut adalah sambungan dari tulisan pertama di link berikut
Salah Kaprah
Pemahaman kemerdekaan yang sempit adalah ketika seorang hanya memandang bahwa kemerdekaan itu hanya ketika pasukan musuh berhasil dipukul mundur dari wilayah perbatasan sebuah bangsa. Ya, itu memang adalah bagian dari indikasi kemerdekaan, namun bukan esensi (pokok). Mengapa demikian? Hal ini karena penjajahan terhadap suatu negeri, bukan hanya berupa penghancuran negeri tersebut oleh pasukan musuh, dirampasnya berbagai kekayaan alam dan sumberdaya oleh para penjajah, dan semacamnya, melainkan dengan corak dan ragamnya yang banyak, dan bahkan lebih buruk dari bentuk penjajahan fisik tersebut.
Seberapa besar keuntungan yang diraih dengan kepulangan pasukan musuh ke negerinya, jika sistem kehidupan para penjajah (baca: Barat) yang bertentangan dengan Islam dan jatidiri bangsa masih diterapkan di negeri ini? Jika demikian adanya, bukankah sebenarnya kita masih tetap dijajah, meski tidak dengan mesiu dan peluru? Memang, entah karena tidak tahu, lupa atau disengaja, masalah ini kerap dilupakan oleh generasi saat ini.
Maka, penjajahan dalam arti yang sebenarnya adalah upaya untuk menjauhkan dan menghalangi manusia untuk mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh). Dari sini, kemerdekan itu sejatinya bersifat bertingkat-tingkat, antara satu individu atau komunitas dengan individu atau komunitas lainnya. Semuanya tergantung dari sejauh mana ia mampu menerapkan Islam dan nilai-nilainya yang agung dan mulia dalam hidup dan kehidupannya. Wallahu a’lam.
foto dari islami.co |
Kemerdekaan adalah Bertindak Etis
Kemerdekaan manusia meliputi hak untuk menjadi ada dan dihargai, beragama dan berkepercayaan, berpikir dan mengekspresikannya, dan beraktualisasi diri, berproduksi dan bereproduksi, hak untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan, kemerdekaan untuk tidak dirampas, diselewengkan, disalahgunakan dan dihambur-hamburkan, baik hak miliknya sendiri maupun hak miliki bersama. Manusia juga tidak boleh diperbudak oleh aturan dan kekuasaan apapun. Sebaliknya aturan dan kekuasaan diperlukan sebagai cara manusia memperoleh rasa aman, damai, keadilan dan kesejahteraan. Semua hak yang disebutkan ini adalah hak-hak fundamental manusia dan bersifat universal.
Tetapi tentu segera harus dikemukakan bahwa berbagai kemerdekaan manusia ini tidak berarti bahwa dia boleh bertindak semau-maunya. Ini adalah hal yang tak mungkin.
Karena setiap manusia berada dalam batas-batas ruang, waktu dan orang lain yang juga memiliki kemerdekaan. Atas dasar inilah maka tidak seorangpun berhak memaksakan kehendaknya atas orang lain. Karena yang lain juga punya kehendak yang sama. Pemaksaan kehendak, apalagi dengan cara-cara kekerasan, pembatasan dan perendahan martabat adalah melanggar prinsip kemanusiaan itu sendiri.
Kemerdekaan seseorang selalu membawa konsekuensi pertanggungjawaban atas seluruh tindakan dan pikirannya. Kemerdekaan dan tanggungjawab bagai dua sisi mata uang. Maka setiap orang dituntut secara etis untuk saling memberikan perlindungan, rasa aman dan penghormatan atas martabatnya.
Dari sini tampak logis bahwa kemerdekaan memiliki korelasi tak terpisahkan dengan kesetaraan antar manusia dan penghargaan satu atas yang lain.
Dengan begitu, kemerdekaan adalah berpikir dan bertindak etis. Yakni berpikir dan bertindak untuk memperoleh kebaikan bagi diri dan orang lain dalam sistem atau institusi yang adil. Karena inilah tujuan kehidupan bersama manusia
foto dari assajidin.com |
Bentuk Penjajahan
Corak dan ragam penjajahan itu bermacam-macam.
Pertama, iblis adalah penjajah yang paling berbahaya bagi manusia. Bahayanya seperti apa? Ia senantiasa berupaya untuk menyesatkan manusia dari jalan hidayah dan Islam hingga hari kiamat. Iblis berkata sebagaimana disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al-A’raf : 17).
Iblis menjajah manusia melalui bujuk rayunya yang dipoles dengan cover berbau ilmiyah, agar manusia menjauhi dan bahkan memusuhi ajaran dan syari’at Islam. Hingga tak ayal lagi, sebagian besar umat manusia dari dulu hingga sekarang telah tertipu oleh propagandanya. Maka, selayaknya kita menjadikannya sebagai musuh abadi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya syetan itu musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh.” (QS. Al-Faathir : 6).
Kedua, penjajah manusia yang tidak kalah bahayanya adalah nafsu dan syahwatnya, yang selalu mengajak kepada kejelekan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan” (QS. Yusuf : 53). Nafsu di sini adalah nafsu lawwamah yaitu jiwa yang selalu goncang, yang jika tidak diarahkan, akan mengantarkan manusia kepada keburukan. Nafsu dan syahwat seperti ini akan bisa diatasi di antaranya dengan ilmu (agama) untuk memperkuat ruhiyah.
Ketiga, penjajah dalam rupa dunia, juga kerap menampakkan kedigyantaraannya dalam menjajah jiwa manusia. Penjajah yang satu ini, tak puas-puas membuat ulah, padahal hampir semua darah yang tertumpah di permukaan bumi atas namanya. Ya, cinta dunia adalah racun dalam kehidupan umat manusia. Karena seorang yang cinta dunia dikhawatirkan akan membuang cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, demikian pula sebaliknya, seseorang yang cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak akan memberikan tempat bagi dunia itu menempel di hatinya. Di antara racun dunia yang paling berbahaya bagi umat manusia adalah fitnah wanita, harta dan tahta. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diminta oleh seseorang untuk menunjukkan suatu amal dimana pelakunya akan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan manusia, beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau akan dicintai Allah dan bersikap zuhudlah terhadap apa yang dimilki manusia, nsicaya engkau akan dicintai manusia.” (HR. Ibnu Majah. Imam An-Nawawi men-hasan-kannya).
Keempat, penjajahan dalam bentuk ghazwul fikri (perang pemikiran), yaitu invasi nilai-nilai menyimpang yang bisa mengganggu dan merusak keyakinan, moralitas dan pola pikir kaum muslimin agar jauh dari nilai-nilai agamanya. Model penjajahan dan invasi ini juga tak kalah bahayanya karena ia datang dengan begitu halus dan tersembunyi melalui media-media propaganda yang hadir di tengah-tengah kehidupan kaum muslimin hari ini, seperti televisi, internet, media cetak dan lainnya.
Ilustrasi Kemerdekaan dari mediaumat.news |
Mensyukuri Kemerdekaan
Kemerdekaan bangsa Indonesia dari rongrongan para penjajah terhadap hak dan kehormatan bangsa adalah sebuah nikmat besar yang wajib untuk disyukuri. 71 tahun yang lalu ketika bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya, para pendiri bangsa telah menyatakan pengakuannya dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”. Sehingga jelas, bahwa kemerdekaan yang hingga saat ini kita rasakan adalah berkat Rahmat dan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib disyukuri. Jika diingkari, tidak menutup kemungkinan, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencabut nikmat-Nya dan menggantinya dengan niqmah (adzab). Sebailiknya, jika disyukri maka kesyukuran tersebut akan mengundang nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (kenikmatan tersebut) kepada kalian” (QS. Ibrahim: 7).
Mensyukuri kemerdekaan adalah mensyukurinya dengan lisan-lisan kita, dalam bentuk kalimat tahmid, berterima kasih dan menyebut jasa serta mendoakan para pahlawan, semoga amalnya diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menyebut jasa baik tersebut juga menjadi bagian dari syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah” (HR. Abu Daud. Di-shahih-kan oleh Syaikh Ahmad Syakir).
Mensyukuri kemerdekaan adalah dengan mengisi masa kemerdekaan dengan amalan yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam berbangsa dan bernegara, bukan dengan mengisinya dengan kemaksiatan kepadaNya. Dengan tegas Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi arahan kepada bangsa ini bagaimana seharusnya mengisi kemerdekaan dan mensyukuri nikmat kepemimpinan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 41, ”(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” Kalimat ”kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi” dapat berarti suatu bentuk kemerdekaan dari penjajahan.
Akhirnya, mari kita syukuri kemerdekaan ini dengan mempertahankan keutuhan jati diri bangsa ini dengan nilai-nilai Islam yang tinggi dan cinta kepada negeri ini sebagai negeri Islam. Dengan itu, insyaaAllah kita akan mampu meraih kejayaan di masa yang akan datang dan meneruskan sejarah bangsa ini menjadi sebuah “baldatun thayyibatun warabbun ghafuur“ yaitu sebuah negara dan bangsa yang meraih maghfirah (ampunan), kesejahteraan dan kedamaian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala selama-lamanya. Semoga. Wallahu a’lam.
Sumber :
1. wahdah.or.id
2. assajidin.com
Post a Comment for "Memaknai Hari Kemerdekaan dalam Bingkai Islam Bagian 2"